background

Hari Ini Harus Lebih Baik Dari Hari Kemarin dan Hari Esok adalah Harapan Yang Harus Kita Perjuangkan

Rabu, 13 Agustus 2014

About Gresik

KOTA GRESIK DAN BUDAYA SANTRI




Gresik tidak ubahnya sebuah museum atau tempat penyimpanan artefak Islam semata. Gresik tidak lebih dari sekadar tempat bersemayamnya jasad para waliyullah. Dengan kata lain, seiring dengan wafatnya para waliyullah, perlahan namun pasti redup pula pancaran nilai-nilai Islam dari bumi Gresik.
SANGAT lama Kota Gresik menyandang predikat “Kota Santri”. Entah apa alasannya, sehingga Gresik layak disebut Kota Santri. Apakah karena Gresik dulu merupakan salah satu pintu gerbang masuknya Islam di Jawa Timur, atau karena penghasil kopiah (songkok) yang kerap dijadikan identitas kaum muslim, atau karena Gresik memiliki koleksi makam para auliya (waliyullah) paling banyak ?



Dengan memperhatikan posisi geografis sebagian wilayah Gresik, yang terbentang sepanjang pesisir pantai (Panceng, Sedayu, Bunga, Manyar dan Gresik), tidak dipungkiri, Gresik pernah memiliki peran strategis terkait masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Paling tidak, banyaknya makam para auliya dan para kerabatnya. Daerah itu, minimal pernah menjadi tempat bermukim para penyebar agama Islam di Jawa.
Sebagaimana banyak sejarah mencatat, para penyebar agama Islam di Indonesia bukan mubaligh (penyebar agama) murni. Sebagian besar justru kaum pedagang dan sekaligus sebagai mubaligh. Tidak berlebihan bila kehadiran mereka relatif lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Meski demikian, mereka bukanlah pribadi yang berwatak materialis-kapitalisme. Status mereka sebagai pedagang sekaligus berfungsi sebagai sarana dakwah yang efektif. Keberadaan para waliyullah di Gresik itu tidak semata-mata mengajarkan Islam secara normatif.
Lebih dari sekadar mengajarkan agama (Islam) secara formalis-simbolik, para waliyullah berkemauan keras menata masyarakat Gresik untuk menjadi masyarakat yang memiliki budaya agamis yang tinggi. Jadi, Sejarah Gresik sebagai kota kaum santri seirama dengan perjalanan panjang para pemuka Islam itu.
Identitas SantriSeiring berjalannya waktu, Gresik tidak ubahnya sebuah museum atau tempat penyimpanan artefak Islam semata. Gresik tidak lebih dari sekadar tempat bersemayamnya jasad para waliyullah. Misalnya Maulana Malik Ibrahim, Gunan Giri, Nyai Ageng Pinatih, Sunan Prapen dan sebagainya. Dengan kata lain, seiring dengan wafatnya para waliyullah, perlahan namun pasti redup pula pancaran nilai-nilai Islam dari bumi Gresik.
Penghargaan terhadap para waliyullah, hampir-hampir telah sirna. Yang tersisa hanyalah penghargaan-penghargaan simbolik yang kering makna, diantaranya : khaul, ziarah wali dan sejenisnya yang mewujud dalam tradisi “meruwat makam”.
Sedangkan untuk membangun tradisi “meruwat ajaran waliyullah” tersebut hampir-hampir turut terkubur bersama jasad para wali itu sendiri. Keteladanan akhlak waliyullah yang kemudian mampu mengantarkan Gresik sebagai Kota Santri justru tidak berbekas.
Ironisnya, meski budaya santri telah benar-benar terkubur dalam “gudang sejarah”, predikat Kota Santri tetap dibangga-banggakan. Mengesankan bahwa kebanggaan terhadap predikat tersebut tidak identik dengan kepahamannya. Bukankah secara sosiologis istilah ’santri’ merupakan produk kultural yang memiliki arti “masyarakat agamis”.
Semestinya pencitraan masyarakat Gresik sebagai ‘masyarakat santri’ terkait erat dengan moralitas masyarakat Muslim. Baik dalam moralitas berpolitik, sosial, ekonomi maupun budaya. Perkembangan perilaku kaum muda di Gresik saat ini dapat dikata dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Norma-norma religius hampir benar-benar tercerabut dari akarnya dan bahkan sekarang berbelok arah ke pola budaya hedonis-materialis.
Kaum muda telah banyak menyingkir dari lingkungan masjid atau tempat-tempat yang selaras dengan karakteristik masyarakat santri, dan beralih ke warung remang-remang yang kian hari berkembang kian massif. Tak terkecuali mereka yang masih berstatus pelajar — dan bersekolah di sekolah yang bersimbolkan Islam.
Menemukan kerumunan anak-anak muda (dan pelajar) di warung-warung mesum yang berkedok “warung kopi”, bukanlah hal yang sulit, baik siang ataupun malam hari. Warung-warung yang tersebar mulai dari wilayah Panceng (Gresik Utara) sampai Balongpanggang (Gresik selatan) itu merupakan fenomena lain dari Gresik. Maka bukan hal yang aneh lagi bila pengidap virus HIV/AIDS di Gresik juga tergolong tinggi.
Menjamurnya praktik prostitusi, yang melibatkan kalangan remaja-remaja di bawah umur , dengan kedok warung kopi itu, merupakan indikator bahwa degradasi moral dikalangan kaum muda Gresik sudah berada dalam tahapan yang sangat akut.
Tanggungjawab BersamaApakah kondisi riil kaum muda ini sebagai konsekuensi logis dari Gresik yang juga menyandang status sebagai kota industri? Belum lagi dengan perilaku politisi yang kerapkali jauh dari nilai-nilai religius dalam usaha untuk mewujudkan ambisi politiknya.
Semua mencerminkan bahwa kerusakan mentalitas religius tidak hanya menjangkiti generasi tertentu dan wilayah tertentu saja. Penyebaran penyakit hedonis-materialisme, yang salah satu cirinya menghalalkan segala cara, sudah mewabah.
Terkait dengan identitas budaya, masyarakat Gresik sejatnya dihadapkan pada dua tantangan identitas, yaitu “kota santri” dan sekaligus “kota industri”. Masalahnya, haruslah budaya santri yang sarat dengan nilai-nilai luhur itu harus menjadi tumbal ambisi-ambisi industrial. Atau sebaliknya, mempertahankan kekuatan industrial Gresik namun bisa hidup selaras dengan nilai-nilai luhur dari pesantren.
Tampaknya, tanggungjawab utama berada di pundak seluruh masyarakat Gresik yang masih merindukan nilai-nilai Islami dalam kehidupan masyarakatnya. Sedangkan peran sentral perubahan ada ditangan para elite birokrat dan politik di Gresik. Ditangan mereka inilah, harapan dan tuntutan masyarakat bisa diwujudkan atau bahkan dikuburkan.Selamat HUT Ke-522 Kota Gresik pada 9 Maret 2009.
Abd Sidiq NotonegoroPengkaji Sosial-Keagamaan, dosen Universias Muhammadiyah Gresik.


Sumber klik disini




KULINER UNIK KHAS KOTA GRESIK

Selain dikenal sebagai Kota Santri, Kabupaten Gresik (Jatim) juga dikenal dengan beragam jenis makanannya yang khas. Di antara sekian banyak makanan khas itu, yang paling dikenal adalah nasi krawu, kue pudak dan otak-otak bandeng.
Ketenaran nama Kota Gresik, sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Di kota yang berjarak 18 kilometer dari sebelah barat Surabaya ini terdapat makam Syeh Maulana Malik Ibrahaim atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Karena itu, tak heran bila Gresik juga mendapat julukan sebagai Kota Santri.
Selain identik dengan berbagai julukan tadi, Gresik juga memiliki kekhasan di bidang kulinarinya. Rasanya pun khas dan layak untuk dijadikan oleh-oleh.


NASI KRAWU
Siapa pun yang datang ke Gresik, hampir pasti yang dicari pertama kali untuk “mengganjal” perut adalah nasi krawu. Makanan yang satu itu menjadi ciri khas kota ini sehingga banyak sekali para penjual menjajakan nasi krawu andalannya di setiap sudut kota. Dan, dari sekian banyak penjual itu salah satu yang paling terkenal adalah Nasi Krawu Ibu Maria, atau lebih dikenal dengan panggilanMbuk Tiban , yang warungnya terletak di Jl. H. Abdul Karim 60. Di warung makan sederhana ini, setiap hari sejak pagi hingga malam selalu dipenuhi pembeli yang datang dari berbagai kota.
Nasi krawu ini terdiri dari nasi putih yang diberi potongan daging sapi kering ditambah jeroan sapi, seperti babat yang disemur, serta sambal petis. Yang khas lagi dari nasi krawu, selalu ditaburi dengan tiga macam serundeng. Yaitu serundeng warna merah, kuning dan coklat. Untuk serundeng warna merah, dibuat dari parutan kelapa yang disangrai, serundeng kuning dibuat dari parutan kelapa yang diberi kunyit, sedangkan serundeng cokelat berasal dari parutan kelapa yang diberi bumbu keluak (kluwek). “Masing-masing serundeng memiliki aroma yang berbeda,” kata Mbuk Tiban.
Mbah Tiban
Karena sudah semakin sepuh, Mbuk Tiban menyerahkan pengelolaan warung nasi krawunya kepada anak-anak dan menantunya. (Foto: Gandhi Wasono M)
Yang menarik, meski nasi krawu sudah dikenal sebagai makanan khas Gresik, namun menurut sejarahnya, nasi itu sebenarnya bukanlah buatan warga Gresik, melainkan orang Madura yang bertempat tinggal di Gresik. “Makanya, penjual nasi krawu yang terkenal di Gresik rata-rata orang Madura,” tutur ibu delapan orang anak dan 30 cucu itu.
Menurut Mbuk Tiban, nasi krawu pada awalnya dijual secara berkeliling di dalam pelabuhan Gresik untuk dikonsumsi para pekerja pelabuhan. Setelah makin populer, kemudian oleh Pemerintah Gresik, makanan yang cara penyajiannya mengunakan pincuk atau alas daun pisang itu “dinobatkan” sebagai makanan khas Gresik. “Begitulah cikal bakal, adanya nasi krawu,” imbuh wanita yang kini menyerahkan pengelolaan warung makannya kepada anak dan menantunya.
Mbuk Tiban lantas berkisah, pertama kali mulai berjualan nasi krawu sekitar tahun 1985. Ketika itu ia belum memiliki warung permanen, sehingga setiap hari harus berjualan di Pasar Gresik, juga berkeliling keluar-masuk kampung. Karena masakannya terkenal enak, lama kelamaan makin banyak pelanaggannya. Setelah memiliki warung permanen yang ia sewa hingga sekarang, kelezatan nasi krawunya makin hari makin dikenal. Mereka yang datang untuk menikmati nasi krawu Mbuk Tiban tak hanya berasal dari Gresik, tapi kebanyakan justru berasal dari luar daerah.
Pada dasarnya, lanjut Mbuk Tiban, bumbu yang dipakai untuk membuat nasi krawu di antara satu penjual dengan lainnya adalah sama. Yang membedakan adalah ukuran bumbunya yang tak bisa ditiru. “Soal rasa itu tergantung tangan masing-masing orang,d an itu tidak bisa dicontoh,” ujarnya. Saking ramainya warung miliknya, sekarang buk Tiban sudah membuka cabang di Jl. Veteran, Gresik. “Yang mengelola di sana, anak saya,” pungkasnya.
Kue Pudak
Makanan khas yang mirip wajik ini merupakan oleh-oleh khas Gresik. Banyak dibeli ketika memasuki musim berhaji dan Lebaran. (Foto: Gandhi Wasono M)
KUE PUDAK
Gresik juga memiliki kudapan yang khas dan terkenal sebagai oleh-oleh, yaitu kue pudak. Kue ini mirip makanan yang biasa disebut dodol atau wajik. Selain rasanya yang legit dan gurih, bentuk kemasan kue pudak juga tidak kalah unik. Kue yang bahan dasarnya terbuat dari tepung beras, santan serta gula putih itu dikemas di dalam pelepah pohon pinang yang dijahit pingirnya. Bentuk kue pudak berupa setengah oval seukuran kepalan tangan orang dewasa. “Pelepah pohon pinang itu memberi aroma khas, mirip aroma kulit jagung pada kuenya. Itu salah satu yang membuat rasa kue pudak semakin enak,” kataSuharsih (54) pembuat kue pudak Cap Kuda.
Pelepah pinang memiliki kelebihan dibandingkan pelepah tanaman lain. Selain lentur, lembaran pelepah pinang di lapisan dalamnya menyerupai lapisan plastik yang secara alami dapat mengatur suhu kue pudak. Ketika dimasuki adonan kue pudak yang masih panas, kue akan segera kering karena lapisan yang mirip plastik itu memiliki pori-pori sehingga mempercepat proses penguapan. “Kita pernah mencoba menggunakan pelepah pisang, tapi tidak berhasil. Karena pelepah pisang akan membuat kue pudak jadi pecah setelah kering,” papar ibu seorang anak itu.
Hanya saja, pelepah pinang yang dipasok dari Jember itu agak sulit dicari bila memasuki musim penghujan. Sebab pohon pinang batangnya licing sehingga sulit untuk dipanjat. Kelemahan lainnya, tidak boleh menyimpan terlalu lama sebab dikhawatirkan akan mudah berjamur. “Makanya, bila musim penghujan datang, harga kue pudak jadi sedikit agak mahal,” jelas Suharsih lagi.
Soal rasa, kue pudak ini juga mengalama sedikit perubahan karena proses memasaknya menggunakan gas elpiji. Dulu, ujar Sunarsih, memasaknya menggunakan kayu bakar sehingga meninggalkan aroma yang khas. “Sejak sebulan lalu, kami terpaksa menganti pakai bahan bakar elpiji, soalnya kayu bakau atau mangrove yang biasa digunakan untuk memasak, kan, sudah dilarang diambil karena dibudidayakan untuk penyelamat pantai,” imbuhnya.
Wanita yang dulu pernah menjadi sekretaris di sebuah perusahaan ini mengaku tak tahu persis sejarah awal kue pudak. Tetapi, dahulu neneknya, Ny. Tjio, memulai merintis usaha pembuatan kue pudak sejak 1950. Kala itu, ibunya yang warga keturunan Tionghoa itu tak punya penghasilan, lalu oleh kerabatnya diajari membuat kue pudak. Itulah kisah cikal bakal keluarganya memproduksi kue pudak, yang bertempat di Jl. Satsuit Tubun, Gresik.
Setelah sang nenek meninggal dunia, usaha kue pudak ini kemudian dilanjutkan oleh ibunya, Hariyati. Baru pada tahun 2005, usaha itu dikelola oleh Suharsih. “Tapi sebenarnya saya sudah ikut mengelola sejak 1987 lalu. Resminya baru tahun 2005,” papar Suharsih.
Setiap harinya, Suharsih bisa menghabiskan sekitar tiga puluh ikat kue pudak, yang masing-masing ikat berisi 10 kue pudak. Semakin ramai pembelinya, ketika tiba musim haji atau Lebaran. Jumlahnya bisa tak terhingga karena membuatnya sesuai pesanan. “Kue pudak itu tidak bisa di stok, soalnya hanya bisa bertahan sekitar 2-3 hari saja. Kecuali bila dimasukkan ke dalam kulkas. Soalnya saya bikinnya sama sekali tidak pakai bahan pengawet,” ungkap Suharsih, yang setiap ikat kue pudaknya dijual seharga Rp 25 ribu.

Sumber klik disini

Tradisi Budaya Asli Gresik

Malam Selawe
Malam Selawe menjadi sebuah tradisi khas bulan ramadhan di kota Gresik, selain menandakan perburuan lailatul qadar. Malam selawe biasanyahari ke-24 ramadhan yang diadakan di makam Sunan Giri. Tradisi malam selawe atau menjelang hari ke 25 ramadhan bisa dibilang malam puncak ramdhan banyak peziarah yang datang ke Makam Sunan Giri , mulai dari anak kecil, remaja, sampai orang yang tua dan lanjut usia. Mereka tak hanya dtang dari daerah Gresik dan sekitarnya tapi dari peziarah luar daerah, bahkan luar pulau.

Para peziarah berbaur menjadi satu untuk ikhtiar,berdoa, mengaji, dengan harapan mendapat berkah . Selain itu para peziarah juga berharap mendapat malam yang sangat istimewa yang datang hanya sekali dalam setahun, dan orang yang beruntung akan mendapatkannya yakni malam Lailatul Qadar. Harapan itu menjadi suguhan yang utama dibenak para peziarah.
Adanya tradisi Malam Selawe  tak diketahui sejak kapan adanya, akan tetapi sudah diwariskan secara turun temurun sejak zaman Sunan Giri. SElain itu menjadi cerita dari mulut-ke mulut sampai sekarang. Selain itu, malam 25 pada bulan ramadhan merupakan saat dimana Kanjeng Sunan Giri bertemu dengan malam Seribu Bulan.
Selain itu banyak pularatusan PKL yang mengais rezeki sepanjang jalan Sunan Giri hingga lokasi makam Sunan Giri. . Mereka rutin datang mengais rezeki pada kegiatan tahunan yang masuk dalam kalender wisata Gresiik berupa festival Malam Selawe.Mereka berjualan pakaian, makanan, khas gresik, jajanan,Asesoris,,dll. Dengan jumlah peziarah yang banyak dan PKL yang membludak disebelah kanan-kiri sepanjang satu kilometer menuju makam Sunan Giri ditutup untuk kendaraan umum . Untuk sampai ke makam kita harus jalan kaki, perlu diingat, semakin malam semakin banyak jumlah peziarah yang datang un tuk peziarah, semakin berdesak-desakan pula.
Agaknya nilai tradisi malam selawe ini mulai bergeser menjadi pasar malam di bulan yang spesial . Tidak hanya sekedar untuk berziarah, malam selawe juga dimanfaatkan oleh kawula muda untuk berpacaran atau sekedar jalan bersama pacar, hal semacam ini sebenarnya tak boleh dilakukan. Semoga kita selalu ingat dan selalu mendapat hidayah dari Allah SWT.

Pasar Bandeng
Satu satu tradisi warisan Walisongo yang hingga kini masih dilestarikan. Yaitu tradisi menggelar Pasar Bandeng di pusat kota Gresik. Tradisi ini pertama kali diadakan oleh Sunan Giri untuk mengangkat perekonomian rakyat setempat.Dua dari sembilanWalisongo penyebar agama islam yang berada di Gresik sangat berpengaruh dalam membangun tatanan budaya masyarakat Gresik. Keduanya adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Raden Paku atau Sunan Giri.Melalui jalan perdagangan, Ainul Yaqin, nama kecil Sunan Giri melakukan da’wah kepada masyarakat. Kala itu, di abad 15 Sunan Giri mulai membantu perekonomian masyarakat dengan cara mengolah dan memasarkan hasil bumi. Hingga kini, masyarakat masih melestarikan warisan Suna Giri yaitu dengan membuat dan menjuala kue pudak dan penyelenggaraan pasar bandeng
Tradisi Pasar Bandeng (prepekan cilik dan prepekan gede) Yang diadakan dua hari sebelum Hari Raya Lebaran atau malam 29 ramadhan seharusnya menjadi ajang pengenalan hasil produksi masyarakat Gresik dan untuk menegaskan kembali hubungan erat antara tradisi agama dan ekonomi.
Selama dua hari itu penduduk Gresik yang mempunyai tambak bandeng berlomba-lomba umtuk  menjual hasil panen Bandengnya ke Pasar Bandeng ini.Tradisi Pasar Bandeng merupakan persiapan masyarakat dalam menghadapi Hari Raya Lebaran. Di pasar bandeng tak hanya ikan bandeng yang dijual tidak,ada ikan tambak lain seperti udang, mujair, nila, ikan mas. Selain itu produk yang dihasilkan masyarakat Gresik di pamerkan dan dijual, seperti pakaian anak, kopiah, terompah, sandal, sepatu, ketimang, masakan dan jajanan khas Gresik serta berbagai keperluan lain untuk perayakan Idul Fitri.
Boleh dikatakan tradisi Pasar Bandeng ini merupakan pameran Hasil produksi Gresik . Saling bertukar baran jualan antar pedagang seperti kopiah,sarung, sandal, tang akan digunakan untuk nganyari di area expo apabila hampir usai itulah tradisi masyarakat Gresik dulu.Yang penting Hari Raya bisa memakai barang baru.Bagi masyarakat Gresik aktivitas ini justru tumbuh saling mendukung sebagaimana Sunan Giri dan Nyi Ageng Pinatih mencontohkan perannya sebagai tokoh agama sekaligus sosok pedagang besar. Sebelum acara pasar bandeng biasanya selalu di awali dengan acara MALEM SELAWE (Malam ke 25 bulan Ramadhan) yang dilaksanakan di Situs makam Sunan Giri
Penyelenggaraan Pasar Bandeng oleh Pemerintah Gresik ini selain untuk melestarikan tradisi, juga untuk mendukung kemandirian ekonomi masyarakat Gresik.Seperti kita ketahui bahwa, Kabupaten Gresik berada di daerah pesisir pantai utara berbatasan dengan Lamongan, dan sebagian wilayah berdekatan dengan Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya.

Kolak Ayam
       Kolak Ayam. Kolak ayam merupakan menu buka puasa yang menjadi favorit warga Gumeno setiap malam 23 pada bulan ramadhan. Meski namanya kolak ayam, tapi jangan dibayangin sama seperti kolak pisang, kolak labu, kolak ketela . Ini merupakan masakan ayam yang berkuah santan .
          Tradisi yang berusia lebih dari 500 tahun ini punya keunikan yaitu orang yang membuat, memasak dan menyiapkan segala bahan yang digunakan untuk memasak kolak ini adlah kaum adam. Hal itu merupakan syarat untuk membuat kolak ayam . Meski yang bekereja adalah kaum adam, kaum hawa tak hanya berdiam diri  menunggu  masakan disajikan , tapi mereka punya tugs yakni memarut kelapa sebagai santan yang dijadikan untuk kolak ayam ini di rumah mereka masing masing
          Msakan yang terdiri dari ayam suwir, santan, daun bawang, gula merah, ji\nten, air . Berdasarkan penuturan warga menyebutkan  bahwa Kolak ayam sudahmenjadi tradisi.” Konon ceritanya pada tahun 1451 ketika Sunan Dalem pendiri masjid Gumeno menderita sakit yang tak diketahui jenis penyakitnya, dan taka ada satupun obat yangbisa menyembuhkan penyakit yang diderita sang sunan.
          Sang Sunan Dalem mendapat petunjuk dari Allah SWT melalui mimpi setelah mimpi bertemu dengan Sunan Giri. Dalam  mimpi itu diserukan untuk membuat masakan dengan racikan daging ayam jago, daun bawang, dll untuk dibuat kolak. Setelah berbuka puasa dengan masakan tersebut , Sunan Dalem berangsur-angsur sembuh. Kejadian ini bertepatan pada tanggal 22 ramadhan.
          Masyarakat Gumeno sendiri menamai masakan ini dengan nama “Sanggringan” yang artinya raja yang sembuh dari sakit. Warga meyakini bahwa kolak ayam ini bisa mengobati segala macam penyakit Tradisi ini merupakan salah satu bentuk cara yang dilakukan oleh warga Gumeno untuk melestarikan tradisi Sunan Dalem agar tidak dikalim oleh Negara lain.  Selain itu juga untuk menciptakan kerukunan dan kebersamaan sesame umat muslim.

Sumber klik disini

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar